SEJAMBI.ID – Kabupaten Bungo merupakan wilayah jambi yang kaya akan tradisi, adat dan budaya. Setiap dusun dalam Kabupaten Bungo hampir memiliki keunikan dan tradisi adat tersendiri dengan penuh pesan moral dan nilai-nilai kebaikan.
Salah satu keunikan budaya yang ada yakni tradisi arakan pengantin ‘orang buruk’ yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Lubuk Kayu Aro, Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Jambi.
Tradisi ini dilakukan saat sepasang pengantin yang baru saja melangsungkan akad nikah diarak keliling kampung, namun terdapat orang dengan dandanan buruk rupa yang ikut dalam arakan pengantin tersebut.
Dalam arakan tersebut, terdapat 6 orang terlibat dalam cerita sebagai orang buruk. Tak tanggung-tanggung mereka totalitas dan rela merubah penampilan mereka sesuai dengan peran masing-masing sehingga wajah aslinya mereka nyaris tidak dikenal.
Datuk Darman berperan sebagai Debalang Raja, tampil dengan busana seram termasuk hiasan rambut menggunakan bulu ijuk juga terlihat gantungan azimat di sekujur pergelangan tangan dan kakinya.
Sementara Sihap berperan sebagai wanita hamil yang sedang melakukan penyamaran, Japal bertugas sebagai Komando Pasukan Bersenjata, Anes sebagai Dukun Beranak, Burhanudin dan Tobroni sebagai pasukan perang dengan dilengkapi senjata, Zamani dan Syahroni mendapat peran sebagai penipu raja.
Lalu, Kedua pengantin juga peran melekat dalam pertunjukan tradisi ini. Pasalnya Tradisi “Orang Buruk ” menceritakan putri cantik kesayangan raja hilang dibawa suami tak lama usai melaksanakan akad nikah.
Dalam cerita itu, pasangan pengantin baru ini nekad kabur meninggalkan istana setelah melangsungkan akad nikah karena takut ditagih mahar pernikahan yang masih berhutang.
Pasalnya, pria yang berani menikahi putri sang raja itu merupakan pemuda yang terlahir dari keluarga tak mampu. Raja yang mendapatkan kabar bahwa putrinya sudah kabur meninggalkan istana bersama suaminya itu langsung marah dan tak ingin menjadi aib bagi keluarga kerajaan.
Raja langsung memanggil penasehat kerajaan untuk meminta pendapat dan memerintahkan sejumlah prajurit untuk melakukan penyamaran dan menyelidiki keberadaan putri raja itu.
Pasukan yang patuh atas perintah raja langsung melaksanakan tugas. Menyisiri sungai hingga melintasi perkampungan, prajurit tersebut akhirnya mendapatkan petunjuk dengan menemukan sebelah sepatu milik putri raja di sebuah rumah keluarga pria miskin tersebut.
Pasukan tersebut langsung kembali ke istana untuk melaporkan temuan mereka tersebut kepada sang raja. Menerima laporan itu, raja memerintahkan debalang dan pasukan perangnya untuk menjemput sang putri.
Meskipun ditakuti orang atas kegarangan Debalang, namun utusan raja ini tidak berhasil membawa putri kembali ke istana. Malah mereka ditipu sekelompok orang dengan memberikan bingkisan yang berisi sebongkah perhiasan emas dan uang tunai dengan persyaratan bingkisan tersebut harus dibuka langsung di hadapan raja sebagai simbol kepatuhan dan denda anak negeri.
Kemarahan Raja langsung memuncak setelah membuka bingkisan yang katanya berisi bongkahan emas dan uang, ternyata semua palsu. Raja kembali memerintahkan debalang membawa pasukan perangnya untuk menangkap masyarakat yang menipu dirinya termasuk kedua penganting baru menghadapnya ke istana.
Tanpa bantahan, debalang dan para pasukan perang langsung berangkat. Setiba di kampung tujuan pasukan tersebut langsung mengamuk. Masyarakat cemas, mereka yang menipu raja memberikan emas dan uang palsu langsung ditangkap dengan tangan terikat mengunakan tali besar, merak diarak bersama pasangan pengantin termasuk putri raja ke istana.
Sesampai di istana meraka langsung menuju ruang sidang dan semuanya mengikuti sidang. Meskipun sebagai putri dari sang raja, ia juga tetap dikenakan sangsi adat melalui keputusan sidang adat yang digelar.
Pesan dari cerita tersebut, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kecamatan Rantau Pandan, A. Muis menjelaskan bahwa dalam tradisi arakan orang buruk memiliki sejumlah pesan moral yang harus diketahui dan menjadi pembelajaran untuk masyarakat saat ini.
Dikatakannya bahwa tradisi arakan orang buruk hanya dilakukan saat adanya lek anak negri atau bathin (pesta adat) karena ada pesan yang berkaitan dengan tuntunan adat setempat. Ia mencontohkan beberapa pesan moral melekat dari narasi cerita tradisi “orang buruk”.
Pertama, tradisi dinamakan orang buruk, bentuk pesan himbauan pemersatu kepada masyarakat. Bila diselenggarakan lek negeri semua harus terlibat tanpa terkecuali dan perbedaan.
“Orang baik lawan dune. Orang buruk lawan gawe,” ucap Muis berbahasa adat.
Dijelaskan, kepintaran orang tua dahulu diambang batas meskipun tidak mengecam pendidikan seperti saat ini. Sengaja meletakan orang buruk dibarisan paling depan arak-arakan disamping memberikan sebuah penghormatan bagi mereka agar tidak tersisih dan nampak buruknya di barisan belakang mereka, sekelompok orang baik penuh dengan dune (pamer harta).
“Penganting, dari dahulu sengaja di baluti pakaian bagus ,mahal dan dilengkapi asesoris yang harganya tepuk jidat. Tentu pendamping orang baik dune,” ujarnya.
Kedua, calon pengantin dapat bercerita kepada orang tua, keluarga besar (nenek mamak) bila sudah ada perencanaan untuk menikah. Agar tidak malu di hari resepsi. Seperti soal Mahar pernikahan, mas kawin (pesko) dan lainnya.
Ketiga, ketelitian para penghulu, nenek mamak, imam masjid , pegawai sarak dan pemangku adat dusun diukur saat keberlangsungan acara pernikahan. Mahar dan mas kawin merupakan syarat wajib bagi mempelai pria diserahkan ke mempelai wanita dalam ajaran agama Islam. Artinya diperiksa termasuk administrasi lainnya benar-benar teliti agar tidak ada gejolak belakang hari.
Keempat, adat berlaku dan adil untuk semua orang tidak ada perbedaan anak rajo, orang kayo dan miskin, semua tegak lurus atas aturan dan hukumnya. Seperti cerita yang dikemas dalam tradisi arakan ” Orang Buruk” putri kesayangan rajo yang nikah dengan pria miskin, buat kesalahan semuanya tetap harus diberi sanksi oleh adat. (mii)